Pages

10.03.2012

You, Only In A Frame [#FF2in1]

Aku menelusuri kedua jariku pada wajahmu yang tersenyum di atas selembar foto. Potret dirimu yang pertama kali kau berikan padaku.
Kau tak suka difoto katamu. Tapi aku selalu merasa wajahmu di foto terlihat manis.
Aku rasa aku beruntung, karena memiliki satu-satunya potret dirimu.
Foto ini menjadi harta yang tak terkira buatku, terutama saat ini.
Setelah kita terpisahkan oleh jarak. Saat kita bahkan tak bisa sekedar bertemu atau saling menyapa.
Memandangi wajahmu seperti ini cukup untuk menghilangkan sedikit rindu yang tak bisa kusampaikan, meski tak bisa mengapuskan sosokmu dari pikiranku.
Tak bisa bertemu denganmu seringkali membuatku nyaris gila. Aku melihat sosokmu dimana-mana, kau tak hanya hadir dalam mimpi-mimpiku setiap malam tapi juga menemaniku dalam ilusi setiap siang. Hari-hari selalu terasa berjalan lambat bagiku.
Kau tahu, aku selalu bisa merasakan setiap detik yang melewati menit. Setiap menit yang melewati jam. Setiap jam yang melewati hari.
Menghitung berapa banyaknya waktu yang harus kulewati hingga aku bisa bertemu lagi denganmu.
Kau tak tahu berapa lama. Begitu pula aku.
Aku hanya tahu aku akan kembali. Pasti.
Entah besok atau bahkan puluhan tahun lagi.
Hanya Tuhan yang tahu.
Karena kematian akan selalu menjadi rahasia-Nya.
Takdir-Nya.


Bandung, 2012

Pupus [#FF2in1]

Kau menyodorkan sebuah kertas biru bermotif bunga itu padaku dengan tiba-tiba. Senyuman bahagia terlihat jelas di wajahmu. Aku sudah bisa menebak apa itu. Namun aku tetap membiarkannya di atas meja. Menyangkal keberadaan undangan pernikahan yang kini jelas berada di depan mataku.
Menyadari aku tak sedikitpun bergeming,  kau kembali menaruh cangkir cappuccino itu di atas meja.
"Undangan pernikahanku." ujarmu memberi penjelasan, seolah aku bertanya. "Kau orang pertama yang menerima undangan ini." jelasmu lagi, membuatku merasa istimewa sebagai seorang sahabat.
Begitulah, buatmu aku hanyalah seorang sahabat. Tak lebih dari itu.
Aku memaksakan seulas senyum. "Aku pasti datang. Selamat ya."
Kau tersenyum lagi. Kembali meneguk secangkir cappuccino itu hingga habis.
Sementara aku meminum secangkir susu coklat hangat yang kini terasa pahit.
Diam-diam aku menahan sesak. Menahan air mata yang nyaris meluap.
Tidak tahukah kau telah lama aku menahan rasa. Menahan rindu yang selalu tak terkatakan.
Meski aku tahu kau sudah memiliki seseorang yang kau cintai, aku bahkan tak kuasa melupakanmu.
Seiring waktu berlalu perasaanku semakin tumbuh, semakin tinggi, berharap kau akan menoleh padaku.
Bertahun aku berharap suatu saat kau akan meninggalkannya dan memilihku.
Tapi semuanya berakhir hari ini.
Hari dimana kau menyerahkan undangan itu.
Tanpa sadar aku meneteskan air mata, seketika aku menahan isak tangis agar kau tak mendengarnya.
Tapi terlambat, karena kau langsung menyadarinya. Kau memandangku dari balik buku menu, heran. "Kau menangis?"
Aku menyusut air mataku dan memandangmu, memikirkan bahwa mungkin ini terakhir kalinya kita bisa bertemu berdua seperti ini, duduk berhadapan seperti ini, minum bersama. Kau dengan secangkir cappuccino dan aku dengan segelas susu coklat.
"Aku hanya terharu. Akhirnya kau menikah." jawabku menguatkan diri.
Kau lagi-lagi tersenyum, kemudian menyerahkan selembar tisu padaku.
"Suatu saat, kau juga akan menemukan seseorang." ujarmu seperti menenangkanku.
Aku tersenyum, pedih.

Aku sudah menemukannya, tapi ia telah memilih orang lain.
Orang itu kamu, dan kamu tak akan pernah tahu.

Bandung, 2012

About Me

My photo
cat lover, japan addict, spy girl, paparazzi, the nocturnal, plegmatis, book eater, newbie teacher, single happy, travel writer wannabe;