Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness : Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Aku memalingkan wajah ketika kedua pasangan yang saling berbahagia
itu bertukar cincin. Tak seorang pun akan menyadari pandanganku yang beralih,
karena orang-orang lain jelas bersikap antusias dengan sorot mata bahagia,
seolah ini pernikahan mereka. Tanpa perlu melihat pun aku sudah tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya, keduanya akan berciuman sebagi tanda sahnya
pernikahan mereka. Melihatnya secara langsung, tentu saja, hanya akan membuat
hatiku semakin menangis.
Ketika semua orang berdiri dan berjalan semakin mendekat ke altar,
menanti buket bunga pengantin yang akan dilempar sang mempelai wanita, aku
berjalan perlahan meninggalkan kerumunan, menapaki batu-batu alam menuju pantai
yang terlihat dibalik deretan pepohonan. Bibirku sesekali tersenyum, menyapa
orang-orang yang bertatapan denganku. Entah aku mengenalnya ataupun tidak,
sepertinya bibirku secara otomatis melengkung ketika bertatapan dengan orang
lain. Mengerikan membayangkan bahwa tindakanku ini sudah menjadi sebuah
kebiasaan tanpa aku sadari.
Semakin aku mendekati pantai, semakin sedikit orang-orang yang
kutemui. Suara hiruk pikuk terdengar ramai di belakangku, namun yang kudengar,
yang ingin kudengar, hanyalah debur ombak di depan sana. Aku dapat mencium bau
garam yang terbawa angin, menyadarkanku laut semakin mendekat. Sepoi angin
melambaikan sundress kuning gading
selutut yang kukenakan, membelai lembut tubuhku yang kepanasan karena sinar
matahari yang mendadak terasa begitu terik.
Atau mungkin justru hatiku?
Begitu pepohonan semakin jarang dan kakiku menjejak pasir yang begitu putih, aku
bisa melihat lautan biru menghampar luas di hadapanku. Laut yang terlihat luas
tak berujung dan langit yang membentang sampai jauh membuatku merasa dunia ini
milikku. Membuatku merasa sendirian, sekalipun banyak orang berkumpul di tepi pantai. Dan aku merasa, akhirnya, bisa bernapas
lega. Tanpa ada siapapun yang kukenal di sekitarku. Tanpa ada orang yang harus
kutipu dengan senyum ramah atau basa-basi hangat.
Tempatku akhirnya bisa menangis, sendirian.
Kukira begitu, sampai seseorang muncul dan menghancurkan anganku
begitu saja. Aku berbalik dan segera menyunggingkan senyum, senyum lebar yang
sesungguhnya memintanya pergi.
Sungguh, aku sudah lelah.
*
“Tidak menginginkan buket bunganya?” tanyanya setelah membalas
senyumku, jelas sekali ia tidak menyadari arti dibalik senyum yang
kusunggingkan barusan.
“Tidak juga, kenapa harus?” jawabku tanpa sedikitpun menurunkan
sudut lengkung bibirku, sekedar bersikap ramah. Meskipun sebenarnya aku tidak
begitu mengenal lelaki yang mengajakku bicara ini.
“Well, it’s your best friend wedding’s party, isn’t it?” tanyanya
dengan nada yang seperti berkata ‘seharusnya-tak-perlu-dipertanyakan-lagi’.
Lelaki bernama Verrell ini sungguh membuatku tertawa, “So, how
about you Ve?” Aku tak tahan untuk bertanya, karena sang mempelai pria yang
merupakan sahabatku itu adalah
sepupunya. Tanpa kuduga, matanya seketika lekat menatap kedua bola mataku.
Tatapannya yang seolah bisa melihat langsung ke dalam hatiku itu membuatku
jengah, membuatku langsung saja berpaling. Tanpa sempat berpikir bahwa
tindakanku itu kurang sopan.
Sayangnya, apa yang berikutnya memasuki penglihatanku malah
membuatku semakin jengah. Laki-laki di altar itu tengah menggandeng mesra
wanita yang kini telah resmi menjadi istrinya. Keduanya berjalan saling
bertatapan menuruni altar, bunga-bunga seakan bermekaran di sekeliling mereka.
Sementara para pemain musik mengiringi mereka dengan musik khas pernikahan yang
buatku terdengar seperti musik kesedihan.
“Apa kamu menyesal Lun?” Verrell tiba-tiba bertanya lagi, membuatku
menoleh terperangah, sepertinya lelaki ini tak juga berniat untuk berhenti
mengusikku. Aku baru saja akan menjawab tidak, ketika Verrell berkata tanpa
melepaskan pandangannya dariku, “Kurasa kamu memang menyesal.”
“Tidak,” jawabku segera, menyangkal pernyataannya yang tak ingin
kuakui, “Tentu saja tidak. Aku turut berbahagia dengan pernikahannya.” Aku
berusaha keras memandang matanya, menjawabnya dengan senyuman lebar. Tapi, saat
menemukan matanya aku tahu ia menyadari kebohongan yang kukatakan.
“Kenapa aku harus menyesal?” tanyaku, mempertahankan diri dari
matanya yang seolah bisa membongkar semua kebohonganku.
Verrell terdiam, sepertinya bukan karena tidak bisa menjawab
pertanyaanku tapi ia sengaja membuat jeda untuk menekankan perkataannya. Ia
mengalihkan tatapannya dan memandang kedua mempelai itu, “Karena kamu
mencintainya,” ia berkata tanpa keraguan, seperti membicarakan perasaannya
sendiri.
Ia sepenuhnya benar dan aku tak mengerti bagaimana dia bisa tahu,
tapi aku tak akan semudah itu mengakui perasaanku di depan seseorang yang tak
begitu kukenal. Tidak seorang pun pernah tahu aku mencintainya, bahkan orang
yang paling dekat denganku sekalipun.
“Of course not,” aku tertawa meski hatiku jelas masih menangis,
“Why do you think like that?” Masih tertawa, aku memandangnya penuh selidik.
Tapi ia tidak ikut tertawa, sesungging senyum pun tidak, ia memandangku dengan raut wajah yang tak
bisa kutebak apa artinya.
Aku segera saja terdiam,
tak berkutik di bawah tatapannya. Baru kali ini ada seseorang yang dengan
mudahnya menebak apa yang kurasakan. Padahal kami hanya pernah bertemu beberapa
kali, ketika aku membantu mempersiapkan pernikahan sahabatku ini. Aku tidak
mengerti bagaimana ia bisa mengetahui semua tentang diriku padahal selama ini
aku selalu berhasil menutup diriku dari orang-orang lain.
“Luna!” seruan itu tiba-tiba mengagetkanku, seketika aku menoleh
pada pasangan yang semakin mendekati tempat kami berdiri. Aku langsung
tersenyum lebar, sosoknya saat ini sungguh terlihat begitu memikat. Sungguh
beruntung sekali istrinya, diam-diam aku berharap akulah yang ada di
sampingnya. Impian yang tak mungkin jadi nyata.
Ketika keduanya benar-benar berada di hadapan kami, Chris berbisik
di telingaku, “Thanks for make it happen Lun.” Perkataannya memilukan hatiku, namun
aku hanya bisa tersenyum.
“You make it Chris, not me. Congratulation,” ujarku, lalu menatap
wanita di sampingnya, “Selamat, semoga
kalian selalu berbahagia.”
Seketika Giselle memelukku, “Thank you so much Lun, kamu sudah
membuat pernikahan impianku jadi nyata. Aku sangat-sangat berterima kasih.” Aku
tak tahu harus bereaksi bagaimana menanggapi ucapan terima kasih yang
jelas-jelas penuh kebahagiaan itu, jadi aku hanya balas memeluknya, menjawabnya
dengan sederhana.
“Sama-sama.”
Aku bisa membuat pernikahan ini menjadi pernikahan yang sesuai
dengan impiannya, karena seperti inilah aku memikirkan pernikahan impianku.
Pernikahan yang tadinya kuimpikan jika aku nanti menikah. Aku membayangkan sebuah
pernikahan di tepi pantai dengan desir ombak mengiringi pernikahanku dan cahaya
matahari menerangi kami berdua, seolah memberkati pernikahan kami. Aku merasa ajaib ketika tahu bahwa The Bay Bali bisa saja membuat
impianku jadi nyata.
And it is, really. Seandainya akulah yang
menikah hari ini. Aku jadi merasa begitu bodoh membuat pernikahan impianku menjadi
nyata untuk orang yang aku cintai tapi bukan aku yang menjadi pasangannya.
Giselle melepaskan pelukannya padaku, lalu menatap Chris dengan air
mata bahagia. Keduanya kembali bergandengan tangan, “Nikmati pestanya Lun,” seru
Chris lalu menatap Verrell. Lelaki itu menepuk bahu Chris penuh persahabatan sebagi
ucapan selamat, lalu keduanya beranjak pergi, menyapa tamu-tamu lain.
Mataku memandang sosok kedua pengantin yang semakin menjauh, tak juga
beralih meski rasanya menyakitkan. “You really love him, aren’t you?” Verrell berkata
lirih, “I know.”
Yes, I am, bisikku. Dan detik itu
pertahananku runtuh, air mata seketika tertumpah dari mataku. Lagu Happy 2NE1 bermain begitu saja dalam benakku.
The sadness over you Bye Bye Bye
Since you need to be without me to be happy
Without you I’m not Happy but I hope you’re happy
I’ll watch over you from afar
Without you I’m not happy but I hope you’re happy
Live happily once forgetting me
I hope you’re happy
Live happily once forgetting me
I wish you’re happy
I though we had it together but well
Aku menarik napas, berusaha mengusir sesak yang memenuhi rongga hatiku.
Verrell sama sekali tidak beranjak dari sisiku, dengan lembutnya ia berkata. “Menangislah
kalau ingin menangis Lun. Biarkan perasaanmu lepas.”
Aku menghembuskan napasku, “How do you know Ve?” tanyaku tak mengerti.
Verrell memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatapku
tepat di bola mata. “Karena aku selalu memperhatikanmu,” ucapnya tegas.
Aku memandangnya tak mengerti.
“I love you Lun,” ungkapnya, “Sejak pertama kita bertemu.”
抜き猫