Pages

11.12.2014

Catatan Perjalanan Dieng, Day 1 Wonosobo

Salah satu keseruan yang saya rasakan ketika pertama kalinya kuliah di luar kota, tepatnya di Jogjakarta, adalah acara jalan-jalan.
Berbeda ketika saya S1 di Bandung yang notabene adalah kota kelahiran saya, kuliah di luar kota menimbulkan ketertarikan yang luar biasa untuk menjelajah berbagai macam tempat yang baru saya kenal ini. Padahal tempat-tempat wisata di Bandung saja belum semua saya jelajahi. :p

Keantusiasan saya inilah yang menyebabkan saya tidak bisa menolak ajakan jalan-jalan teman-teman sekelas saya menuju Wonosobo, kota asal salah satu teman saya, Fakih Fauzan.
Memanfaatkan jadwal kosong di sela waktu kuliah, kami semua sepakat untuk berangkat pada hari Rabu sore, 22 Oktober 2014, dari Jogjakarta menuju Wonosobo yang kemudian akan dilanjutkan dengan "mendaki" Dieng.

Setelah menyelesaikan kuliah terakhir pada hari Rabu, kami pulang ke kosan masing-masing, mempersiapkan segala macam alat penjelajahan. Ketika mempersiapkan barang-barang yang akan saya bawa, saya mendadak merasa seperti Sherina saat akan bertanding dulu-duluan dengan Sadam menuju puncak bukit dalam film Petualangan Sherina. (so old time~ :3 )

Karena perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih sehari semalam, saya mempersiapkan barang-barang yang perlu dibawa dengan matang, mulai dari baju sampai alat mandi, tak lupa botol air minum dengan isi satu liter. Teringat kata-kata mas Fakih soal perjalanan yang jauh dan berliku.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 lebih ketika saya akhirnya selesai mengepak. Saya pun memutuskan untuk berangkat menuju kampus, menuju meeting point yang telah kami sepakati. Ketika bersiap di depan kosan, memakai sepatu biru kesayangan, saya kebetulan berpapasan dengan salah satu teman kosan yang langsung bertanya, "Mau kemana mba?" Sebuah pertanyaan yang otomatis ditanyakan saat kita melihat seseorang terlihat mau pergi.
"Mau ke Wonosobo," jawab saya santai.
Dengan pandangan bingung teman saya itu bertanya lagi, "Pake motor mba?"
Saya mengangguk yakin, mengabaikan nada ragu yang tersirat dalam pertanyaannya.
"Serius?" tanyanya lagi dengan tidak percaya.
Mendengar nada terkejutnya membuat saya merasa ragu dengan perjalanan yang akan saya lakukan.
Apa perjalanannya begitu berbahaya? Atau, sebegitu jauhnya sampai menimbulkan keterkejutan seperti itu?

Berusaha menjauhkan segala macam pikiran yang tidak perlu, saya memutuskan untuk berangkat dengan memantapkan hati, menghadapi apapun yang mungkin terjadi nanti.

Jarum jam menunjuk angka 4 ketika kami beranjak dari pelataran kampus.
Sepuluh orang, lima motor, dan perjalanan berkilo-kilo meter.

Ini dia sepuluh orang yang ikut dalam perjalanan menuju Dieng.
Mas Fakih (tuan rumah kali ini) dan Erni (istri tercintanya :3), Mas Toto (ketua kelas kami), Mas Andri (fotografer dalam perjalanan ini :D), Zia (orang paling unik di antara kami :p), Nita (my best partner), Natalis (temen narsis bareng :v), Ririn (gadis asli Makassar), dan Sheila (the youngest girl in the class).



Di awal perjalanan semangat masih menggebu, motor yang saya kendarai masih membelah cepat jalanan kota Jogja, ditemain Nita yang duduk manis di belakang saya. Memasuki Magelang, hujan gerimis mulai turun, mengingatkan saya akan Bandung yang seketika membuat saya rindu.
Berhubung Jogja belum sedikitpun mendapat setitik air hujan, gerimis yang saya rasakan di Magelang benar-benar mengobati kerinduan pada hujan yang membasahi bumi.
Meski hanya hujan sesaat.

Waktu magrib telah beberapa puluh menit lewat saat kami memutuskan untuk shalat Magrib, menghangatkan tubuh yang mulai kedinginan. Meski belum memasuki Wonosobo, suhu udara sudah terasa berbeda sekali dengan di Jogja. Di tempat wudhu, sambil meluruskan punggung dan kaki yang mulai pegal, saya membalur tubuh dengan aroma therapy yang sudah saya siapkan. Menghangatkan tubuh sekaligus merilekskan otot.

Selepas shalat, saya merasa kembali segar dan lebih hangat karena efek aroma therapy, kami pun melanjutkan kembali perjalanan. Langit sudah beranjak gelap sejak tadi, sinar matahari digantikan lampu-lampu jalan dan kendaraan yang berlalu-lalang.
Sejujurnya saya berharap bisa sampai di Wonosobo sebelum benar-benar gelap, karena saya selalu mengalami kekhawatiran (entah kenapa) saat menyetir di malam hari.
Tak perlu dibuktikan lagi, memang itulah yang terjadi. xp

Karena saya semakin tertinggal dari teman-teman yang berada di depan saya. Untungnya ada Mas Andri yang mengontrol di paling belakang, jadi saya dan Nita tidak tertinggal apalagi sampai kesasar di tempat yang asing ini. Namun, itu belum seberapa, perjalanan kami semakin sulit ketika hujan mulai turun lagi.
Hujan di siang hari saja sudah cukup membuat sulit, apalagi di malam hari. Kali ini bukan hanya gerimis, hujan deras mendera kami. Celakannya, saya sama sekali tidak punya jas hujan, karena sengaja tidak saya bawa dari Bandung dan berhubung cuaca Jogja yang selalu panas saya belum membeli jas hujan baru. Saya sama sekali tidak memprediksi soal cuaca di Wonosobo akan begitu berbeda.
Kami pun tetap melanjutkan perjalanan berharap menemukan toko yang menjual jas hujan di sisi jalan. Setelah menahan tetesan hujan yang terasa menusuk-nusuk kulit, pandangan yang semakin memburam, dan dingin yang menggigit, Akhirnya kami pun melihat toko jas hujan dan membeli jas hujan murah, melindungi tubuh yang sebenarnya sudah basah kuyup.
Seakan belum lengkap, kami masih harus melalui jalan berkabut, membuat jangkauan mata saya yang sudah minus semakin menurun. Dan saya pun semakin tertinggal jauh.
Melewati jalan berkabut, kami menghadapi kerlap kerlip lampu di sisi jalan yang membentuk tanda seru, memperingati semua pengendara akan adanya turunan tajam. Hujan memang sudah mereda, namun jalanan yang licin selepas hujan membuat saya semakin menurunkan kecepatan.
Saya tak melihat siapapun lagi di depan saya.
Tak tahu berada dimana dan tak yakin seberapa jauh lagi tujuan kami.
Apalagi saya pikir di belakang saya tak ada siapa-siapa, karena saya sempat melihat Mas Andri menyusul saya dan tak melihatnya lagi setelah itu.

Ketika turunan-turunan telah kami lalui dan hujan kembali turun, Nita menyarankan untuk gantian menyetir. Saya pun mencari tempat yang saya rasa nyaman untuk berhenti, menekan rem, kemudian turun dari motor. Saat itulah motor Mas Andri beserta Ririn melewati kami, berhenti beberapa meter di depan motor saya. Sama sekali tak menduga kemunculannya.
Jadi selama ini sebenarnya mereka ada di belakang kami.

Saya kembali mengalihkan perhatian pada Nita yang beranjak meraih setir, merasa aman setelah ia memegang stang, saya melepas pegangan saya. Lalu, saat perhatian saya teralih pada tas Nita yang terlihat berat dan berusaha mengangkat tasnya, saya melihat motor saya telah terguling membuat saya kaget seketika. Kok bisa? Padahal saya sama sekali tidak merasa motor itu terjatuh.

Dengan panik, saya berusaha mengangkat motor belum sadar bahwa kaki Nita juga terperosok ke selokan kecil di pinggir jalan. Saya lalu mengecek kondisinya, memastikan bahwa ia baik-baik saja. Kemudian Mas Andri menghampiri kami, ikut membantu kami dari "kecelakaan kecil" tersebut.

Setelah menenangkan diri dan memastikan kami siap melanjutkan perjalanan, saya, Nita, Mas Andri, dan Ririn kembali menelusuri jalan. Sudah benar-benar ketinggalan dari yang lain.
Di pertigaan jalan yang saya tak tahu dimana, kami berhenti tak tahu pasti kemana harus pergi.
Hingga akhirnya kami menghubungi salah satu teman kami.

Mengikuti petunjuk, kami belok ke arah kanan mencari pom bensin tempat yang lain menunggu sekaligus memberi asupan energi baru untuk motor kami. :D

Setelah sepuluh orang berkumpul kembali, kami melanjutkan sisa perjalanan menuju rumah Mas Fakih, yang sudah tak seberapa jauh lagi.

Jam 9 malam, akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah. Saya benar-benar merasa lega karena perjalanan hari ini akhirnya berakhir. Ini perjalanan terjauh dan tersulit yang pernah saya tempuh.

Saya hanya ingin mandi, makan, lalu tidur.
Masih ada perjalanan yang harus ditempuh besok pagi.

Menuju puncak tertinggi. Dieng. :3
   

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
cat lover, japan addict, spy girl, paparazzi, the nocturnal, plegmatis, book eater, newbie teacher, single happy, travel writer wannabe;