Pages

11.24.2015

Surprise, Sweet Moment, and Gratitude

Bagiku satu tahun ini menjadi satu tahun yang begitu cepet berlalu sekaligus lambat.

Setahun sudah aku tidak mengisi blog dengan ungkapan ide atau curahan hati atau bahkan sekedar ungkapan kata. Dan kini (22 nov 2015) usiaku sudah bertambah satu lagi. Ucapan dan doa dari orang-orang terkasih, keluarga, saudara, sahabat, teman, dan mungkin hanya sekedar kenalan sudah cukup menjadi rasa syukur atas keeempatan yang masih diberikan-Nya untuk merasai udara yang mengisi napasku, memijak tanah yang menghidupi langkahku, dan memandang langit yang menaungi hatiku.

Maka, benar-benar tak kusangka akan mendapat kejutan-kejutan berharga hari ini (23 nov 2015).

Kejutan-kejutan sederhana namun terasa manis.

Karenanya berjuta terima kasih kuucapkan untuk :

Natalis, atas hadiah kecil dengan kehangatan yang besar,
 

Nita dan Ririn, atas kue manis yang akan menjadikannya kenangan yang jauh lebih manis,


teman-teman TP B (Sella, Erni, Zizah, Dwi, Adrie, Randy, Andri, Galih, Fakih, Haris, Alwan, Ence, Zia, Pak Wid, Mas Toto, Air) atas ucapan, kemeriahan, dan doanya, kebersamaan kita akan selalu kurindukan.


Satu hal yang kurenungkan untuk tahun ini.

Setahun sekali seseorang selalu merayakan hari lahirnya atau setidaknya menganggap hari itu sebagai hari yang spesial. Namun seringkali kita lupa bahwa setiap hari umur kita bertambah, bahkan tiap detknya dan seringkali kita lupa, setiap umur kita bertambah maka waktu hidup kita pun sebenarnya semakin berkurang.

Untuk mengingat hal itu, jangan lupa bersyukur atas apa yang kita terima hari ini dan apa yang telah diberikanNya sepanjang hidup kita.

Bersyukur dan berbahagialah. Alhamdulillah :3


抜き猫

11.22.2014

Being 25

Tahun berlalu begitu cepat, rasanya baru kemaren saya berusia 20.
Seiring waktu, apa yang saya lalui beberapa tahun ini memberikan banyak perubahan dalam diri saya.
Dulu saya begitu ingin dianggap sebagai seseorang yang dewasa, namun mencapai usia 25 ini saya lebih mementingkan untuk berkembang menjadi seseorang yang lebih baik.
Semasa remaja, saya punya target yang akan saya capai di usia 25, seperti menikah misalnya. :D
Tapi ternyata, seiring waktu setiap momen dalam hidup kita tak bisa dipaksakan.
Selalu ada waktu yang tepat untuk setiap hal yang terjadi atau belum terjadi dan ada makna yang bisa kita ambil dari hal-hal tersebut.


I'm 25 now.
And it is weird to say what I feel.

Getting older, but feeling younger. :3



See these photos below

[ menjelang 20]

        
                                                         
                                                                                                                                         [menjelang 25] 

















Padahal selang 5 tahun, tapi ngga jauh beda ternyata. Heheh ^^Y




ー 抜き猫

11.12.2014

Catatan Perjalanan Dieng, Day 1 Wonosobo

Salah satu keseruan yang saya rasakan ketika pertama kalinya kuliah di luar kota, tepatnya di Jogjakarta, adalah acara jalan-jalan.
Berbeda ketika saya S1 di Bandung yang notabene adalah kota kelahiran saya, kuliah di luar kota menimbulkan ketertarikan yang luar biasa untuk menjelajah berbagai macam tempat yang baru saya kenal ini. Padahal tempat-tempat wisata di Bandung saja belum semua saya jelajahi. :p

Keantusiasan saya inilah yang menyebabkan saya tidak bisa menolak ajakan jalan-jalan teman-teman sekelas saya menuju Wonosobo, kota asal salah satu teman saya, Fakih Fauzan.
Memanfaatkan jadwal kosong di sela waktu kuliah, kami semua sepakat untuk berangkat pada hari Rabu sore, 22 Oktober 2014, dari Jogjakarta menuju Wonosobo yang kemudian akan dilanjutkan dengan "mendaki" Dieng.

Setelah menyelesaikan kuliah terakhir pada hari Rabu, kami pulang ke kosan masing-masing, mempersiapkan segala macam alat penjelajahan. Ketika mempersiapkan barang-barang yang akan saya bawa, saya mendadak merasa seperti Sherina saat akan bertanding dulu-duluan dengan Sadam menuju puncak bukit dalam film Petualangan Sherina. (so old time~ :3 )

Karena perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih sehari semalam, saya mempersiapkan barang-barang yang perlu dibawa dengan matang, mulai dari baju sampai alat mandi, tak lupa botol air minum dengan isi satu liter. Teringat kata-kata mas Fakih soal perjalanan yang jauh dan berliku.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 lebih ketika saya akhirnya selesai mengepak. Saya pun memutuskan untuk berangkat menuju kampus, menuju meeting point yang telah kami sepakati. Ketika bersiap di depan kosan, memakai sepatu biru kesayangan, saya kebetulan berpapasan dengan salah satu teman kosan yang langsung bertanya, "Mau kemana mba?" Sebuah pertanyaan yang otomatis ditanyakan saat kita melihat seseorang terlihat mau pergi.
"Mau ke Wonosobo," jawab saya santai.
Dengan pandangan bingung teman saya itu bertanya lagi, "Pake motor mba?"
Saya mengangguk yakin, mengabaikan nada ragu yang tersirat dalam pertanyaannya.
"Serius?" tanyanya lagi dengan tidak percaya.
Mendengar nada terkejutnya membuat saya merasa ragu dengan perjalanan yang akan saya lakukan.
Apa perjalanannya begitu berbahaya? Atau, sebegitu jauhnya sampai menimbulkan keterkejutan seperti itu?

Berusaha menjauhkan segala macam pikiran yang tidak perlu, saya memutuskan untuk berangkat dengan memantapkan hati, menghadapi apapun yang mungkin terjadi nanti.

Jarum jam menunjuk angka 4 ketika kami beranjak dari pelataran kampus.
Sepuluh orang, lima motor, dan perjalanan berkilo-kilo meter.

Ini dia sepuluh orang yang ikut dalam perjalanan menuju Dieng.
Mas Fakih (tuan rumah kali ini) dan Erni (istri tercintanya :3), Mas Toto (ketua kelas kami), Mas Andri (fotografer dalam perjalanan ini :D), Zia (orang paling unik di antara kami :p), Nita (my best partner), Natalis (temen narsis bareng :v), Ririn (gadis asli Makassar), dan Sheila (the youngest girl in the class).



Di awal perjalanan semangat masih menggebu, motor yang saya kendarai masih membelah cepat jalanan kota Jogja, ditemain Nita yang duduk manis di belakang saya. Memasuki Magelang, hujan gerimis mulai turun, mengingatkan saya akan Bandung yang seketika membuat saya rindu.
Berhubung Jogja belum sedikitpun mendapat setitik air hujan, gerimis yang saya rasakan di Magelang benar-benar mengobati kerinduan pada hujan yang membasahi bumi.
Meski hanya hujan sesaat.

Waktu magrib telah beberapa puluh menit lewat saat kami memutuskan untuk shalat Magrib, menghangatkan tubuh yang mulai kedinginan. Meski belum memasuki Wonosobo, suhu udara sudah terasa berbeda sekali dengan di Jogja. Di tempat wudhu, sambil meluruskan punggung dan kaki yang mulai pegal, saya membalur tubuh dengan aroma therapy yang sudah saya siapkan. Menghangatkan tubuh sekaligus merilekskan otot.

Selepas shalat, saya merasa kembali segar dan lebih hangat karena efek aroma therapy, kami pun melanjutkan kembali perjalanan. Langit sudah beranjak gelap sejak tadi, sinar matahari digantikan lampu-lampu jalan dan kendaraan yang berlalu-lalang.
Sejujurnya saya berharap bisa sampai di Wonosobo sebelum benar-benar gelap, karena saya selalu mengalami kekhawatiran (entah kenapa) saat menyetir di malam hari.
Tak perlu dibuktikan lagi, memang itulah yang terjadi. xp

Karena saya semakin tertinggal dari teman-teman yang berada di depan saya. Untungnya ada Mas Andri yang mengontrol di paling belakang, jadi saya dan Nita tidak tertinggal apalagi sampai kesasar di tempat yang asing ini. Namun, itu belum seberapa, perjalanan kami semakin sulit ketika hujan mulai turun lagi.
Hujan di siang hari saja sudah cukup membuat sulit, apalagi di malam hari. Kali ini bukan hanya gerimis, hujan deras mendera kami. Celakannya, saya sama sekali tidak punya jas hujan, karena sengaja tidak saya bawa dari Bandung dan berhubung cuaca Jogja yang selalu panas saya belum membeli jas hujan baru. Saya sama sekali tidak memprediksi soal cuaca di Wonosobo akan begitu berbeda.
Kami pun tetap melanjutkan perjalanan berharap menemukan toko yang menjual jas hujan di sisi jalan. Setelah menahan tetesan hujan yang terasa menusuk-nusuk kulit, pandangan yang semakin memburam, dan dingin yang menggigit, Akhirnya kami pun melihat toko jas hujan dan membeli jas hujan murah, melindungi tubuh yang sebenarnya sudah basah kuyup.
Seakan belum lengkap, kami masih harus melalui jalan berkabut, membuat jangkauan mata saya yang sudah minus semakin menurun. Dan saya pun semakin tertinggal jauh.
Melewati jalan berkabut, kami menghadapi kerlap kerlip lampu di sisi jalan yang membentuk tanda seru, memperingati semua pengendara akan adanya turunan tajam. Hujan memang sudah mereda, namun jalanan yang licin selepas hujan membuat saya semakin menurunkan kecepatan.
Saya tak melihat siapapun lagi di depan saya.
Tak tahu berada dimana dan tak yakin seberapa jauh lagi tujuan kami.
Apalagi saya pikir di belakang saya tak ada siapa-siapa, karena saya sempat melihat Mas Andri menyusul saya dan tak melihatnya lagi setelah itu.

Ketika turunan-turunan telah kami lalui dan hujan kembali turun, Nita menyarankan untuk gantian menyetir. Saya pun mencari tempat yang saya rasa nyaman untuk berhenti, menekan rem, kemudian turun dari motor. Saat itulah motor Mas Andri beserta Ririn melewati kami, berhenti beberapa meter di depan motor saya. Sama sekali tak menduga kemunculannya.
Jadi selama ini sebenarnya mereka ada di belakang kami.

Saya kembali mengalihkan perhatian pada Nita yang beranjak meraih setir, merasa aman setelah ia memegang stang, saya melepas pegangan saya. Lalu, saat perhatian saya teralih pada tas Nita yang terlihat berat dan berusaha mengangkat tasnya, saya melihat motor saya telah terguling membuat saya kaget seketika. Kok bisa? Padahal saya sama sekali tidak merasa motor itu terjatuh.

Dengan panik, saya berusaha mengangkat motor belum sadar bahwa kaki Nita juga terperosok ke selokan kecil di pinggir jalan. Saya lalu mengecek kondisinya, memastikan bahwa ia baik-baik saja. Kemudian Mas Andri menghampiri kami, ikut membantu kami dari "kecelakaan kecil" tersebut.

Setelah menenangkan diri dan memastikan kami siap melanjutkan perjalanan, saya, Nita, Mas Andri, dan Ririn kembali menelusuri jalan. Sudah benar-benar ketinggalan dari yang lain.
Di pertigaan jalan yang saya tak tahu dimana, kami berhenti tak tahu pasti kemana harus pergi.
Hingga akhirnya kami menghubungi salah satu teman kami.

Mengikuti petunjuk, kami belok ke arah kanan mencari pom bensin tempat yang lain menunggu sekaligus memberi asupan energi baru untuk motor kami. :D

Setelah sepuluh orang berkumpul kembali, kami melanjutkan sisa perjalanan menuju rumah Mas Fakih, yang sudah tak seberapa jauh lagi.

Jam 9 malam, akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah. Saya benar-benar merasa lega karena perjalanan hari ini akhirnya berakhir. Ini perjalanan terjauh dan tersulit yang pernah saya tempuh.

Saya hanya ingin mandi, makan, lalu tidur.
Masih ada perjalanan yang harus ditempuh besok pagi.

Menuju puncak tertinggi. Dieng. :3
   

7.02.2014

Pertandingan Sengit Argentina VS Swiss

Selasa, 1 Juli 2014, Argentina bertemu dengan Swiss dalam babak 16 besar.


Pertandingan yang sudah saya nanti-nantikan dan membuat penasaran sejak beberapa hari sebelumnya. Bagaimanapun, sebagai pendukung Argentina, saya berharap mereka dapat memenangkan pertarungan dengan Swiss dan melaju ke babak 8 besar. Namun demikian, Swiss bukanlah lawan yang mudah untuk dihadapi.
Sejak awal pertandingan dimulai, gerakan para pemain Swiss yang cepat dan pertahananannya yang ketat, mampu menahan serangan-serangan Argentina. Berkali-kali tendangan pemain Argentina menuju gawag berhasil dihentikan oleh kiper Swiss, Benaglio [1].
Dalam pertandingan ini, Argentina lebih banyak menguasai bola, menciptakan banyak kesempatan yang sayangnya, tidak dieksekusi dengan begitu baik. Banyak operan-operan yang seharusnya bisa saja menciptakan gol namun seringkali tidak berbuah karena tidak ada pemain yang menerima operan tersebut sehingga bola berhasil dihalau oleh pemain-pemain Swiss.
Selama dua babak Argentina belum berhasil membobol gawang Benaglio, membuat pertandingan semakin menegangkan dan saya semakin cemas. Karena bukan tidak mungkin Swiss berhasil lebih dulu menembus gawang Argentina yang dijaga oleh Sergio Romero [1]. Beberapa kali serangan Swiss nyaris membahayakan Argentina.
Angka 0 pun bertahan di kedua tim setelah 90 menit dan ketegangan masih akan berlanjut selama 30 menit lagi, membuat jantung saya semakin berdetak tidak karuan.
Babak pertama perpanjangan waktu berlalu begitu cepat dan angka 0 masih saja tak bergeming. Tidak begitu banyak perubahan yang terjadi dalam permainan tim Argentina, pertahanan Swiss pun masih sulit ditembus.
Permainan dalam babak kedua perpanjangan waktu semakin sengit, semakin cepat, semakin menegangkan. Saya benar-benar berharap Argentina berhasil memasukkan bola, karena jika akhirnya harus memasuki babak pinalti saya tidak begitu yakin Argentina dapat memasukkan lebih banyak bola ketimbang Swiss (melihat kemampuan Benaglio menahan serangan-serangan Argentina selama pertandingan). Lagipula saya juga tidak yakin bisa menahan ketegangan yang membuat jantung saya hampir pecah.
Hingga akhirnya, saya melihat kesempatan datang, ketika pemain-pemain Swiss tidak begitu banyak di depan gawang. Lionel Messi [10] menggiring bola, melewati satu dua pemain lalu mengoper ke kanan, di sana ada Gonzalo Higuain [9] dan Angel Di Maria [7]. Bola diterima oleh Di Maria, langsung ditendang ke gawang, melewati Benaglio, dan berhasil masuk ke sudut kiri gawang.


Seketika saya mengangkat tangan dan bersorak gembira (yang sedikit ditahan karena sudah dini hari).
Akhirnya, akhirnya! Yes! Yes! Yes! Dalam hati saya berteriak kegirangan, menari-nari bahagia. >_<

             www.thestar.com.my                                uk.reuters.com

Setelah 118 menit yang panjang, Argentina pun berhasil merobek gawang Swiss.
Mungkin ada yang mengatakan itu hanya keberuntungan, tapi keberuntungan pun merupakan salah satu faktor penentu pertandingan. Not anything wrong with that.
Kini, angka 0 di tim Argentina pun tersingkirkan oleh angka 1. Namun saya merasa Argentina justru harus semakin waspada. Karena setelah gawang mereka dibobol, Swiss tentu akan semakin memperkuat serangannya.
Hal ini terbukti ketika Benaglio turut serta menyerang pertahanan Argentina, yang dengan lega saya katakan, tak berhasil dipatahkan oleh serangan pemain-pemain Swiss. Terutama ketika Swiss mendapatkan tendangan bebas, dengan jarak 17 meter menuju gawang, yang tak berhasil menembus penjagaan Romero.

Lalu peluit akhir pertandingan pun dibunyikan dan pertandingan yang penuh ketegangan pun berakhir.
Saya menghembuskan napas, lega selega-leganya.

Argentina berhasil maju ke babak 8 besar, dengan skor 1-0.
Kemenangannya atas Swiss.


Siapa yang akan dihadapi oleh Argentina di babak 8 besar.
Kita nantikan hasil pertandingan antara Belgia dan Amerika Serikat. :)


抜き猫

6.04.2014

for you, for the last




karena,
seperti air yang menguap
ia sebenarnya tidak menghilang
ia hanya berubah wujud

dan

seperti bumi
yang terkadang merindukan hujan
aku juga
terkadang masih merindukanmu




抜き猫

4.27.2014

Sayounara Ojiisan

Semasa kecil, saya jarang sekali bertemu kakek dan tidak begitu mengingat sosoknya. Sosok kakek yang pertama sekaligus yang paling membekas dalam benak saya dimulai sekitar sepuluh tahun lalu.
Kala itu, saya yang masih duduk di bangku SMA beserta salah satu adik saya mulai diajari matematika secara rutin oleh kakek (yang dulunya merupakan guru dan dosen matematika) setiap hari minggu. Suatu hal yang luar biasa karena saat itu kakek sudah memasuki usia 80an.
Secara rutin diajari matematika oleh kakek, saya jadi tahu bahwa kakek adalah orang yang mengajari dengan sabar, detail, dan perlahan-lahan. (Walaupun karena terlalu perlahan terkadang menyebabkan saya jadi mengantuk). Meski begitu, berkat rajin belajar bersama kakek, saya jadi lebih mengerti matematika dan mulai menganggap matematika jadi lebih menyenangkan.
Mengingat sosok kakek yang seperti itu membuat saya tidak bisa membayangkan ketika ada yang bercerita bahwa kakek adalah orang yang disiplin, tegas, dan "keras" ketika mengajar di sekolah. Sosok kakek yang mungkin tidak saya ketahui. Namun, meski tak sedikit yang mengatakan kakek adalah guru yang "galak", kakek adalah guru yang selalu dikenang oleh murid-muridnya.
Selain ibu, kakek adalah panutan saya dalam mengajar dan mendidik siswa, profesi yang saya tekuni sekarang.
Setelah saya menyelesaikan pendidikan SMA dan melanjutkan kuliah, saya mulai berhenti belajar matematika karena bidang yang saya ambil bukanlah matematika. Tapi, kakek melanjutkan mengajar matematika pada dua adik saya yang lain. Kemudian, kakek jatuh sakit.
Awalnya hanya sakit kaki. Kakek yang awalnya bisa berjalan normal, bahkan masih bermain tenis, mulai berjalan dengan bantuan tongkat. Waktu berlalu, kakek mulai tidak bisa berjalan dan menggunakan kursi roda. Hingga akhirnya tidak bisa terlalu banyak bergerak dan hanya bisa berbaring di atas kasur.
Berkali-kali bolak-balik masuk rumah sakit, kian hari penyakitnya pun semakin parah.
Selama tiga tahun sakit, kami selalu merayakan ulang tahun kakek, melewati tiap tahunnya dengan harapan kakek bisa sembuh.
Saya masih ingat, sewaktu sehat dulu kakek sering bilang dengan bangga mengenai usianya yang panjang. Karena di keluarga kakek belum pernah ada yang usiannya mencapai 90an.

Kini, tahun 2013 telah menjadi tahun terakhir kami sekeluarga merayakan ulang tahun kakek bersama-sama.

Karena, pada tanggal 24 April 2014, di usianya yang ke 92 kakek meninggal dunia.


Sayounara Ojiisan (Selamat Tinggal Kakek)
Sosokmu akan selalu kami kenang dan kami jadikan teladan.
Do'a kami menyertaimu.


抜き猫

4.16.2014

Though I...

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness : Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!

Aku memalingkan wajah ketika kedua pasangan yang saling berbahagia itu bertukar cincin. Tak seorang pun akan menyadari pandanganku yang beralih, karena orang-orang lain jelas bersikap antusias dengan sorot mata bahagia, seolah ini pernikahan mereka. Tanpa perlu melihat pun aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, keduanya akan berciuman sebagi tanda sahnya pernikahan mereka. Melihatnya secara langsung, tentu saja, hanya akan membuat hatiku semakin menangis.
Ketika semua orang berdiri dan berjalan semakin mendekat ke altar, menanti buket bunga pengantin yang akan dilempar sang mempelai wanita, aku berjalan perlahan meninggalkan kerumunan, menapaki batu-batu alam menuju pantai yang terlihat dibalik deretan pepohonan. Bibirku sesekali tersenyum, menyapa orang-orang yang bertatapan denganku. Entah aku mengenalnya ataupun tidak, sepertinya bibirku secara otomatis melengkung ketika bertatapan dengan orang lain. Mengerikan membayangkan bahwa tindakanku ini sudah menjadi sebuah kebiasaan tanpa aku sadari.
Semakin aku mendekati pantai, semakin sedikit orang-orang yang kutemui. Suara hiruk pikuk terdengar ramai di belakangku, namun yang kudengar, yang ingin kudengar, hanyalah debur ombak di depan sana. Aku dapat mencium bau garam yang terbawa angin, menyadarkanku laut semakin mendekat. Sepoi angin melambaikan sundress kuning gading selutut yang kukenakan, membelai lembut tubuhku yang kepanasan karena sinar matahari yang mendadak terasa begitu terik.
Atau mungkin justru hatiku?
Begitu pepohonan semakin jarang dan kakiku menjejak pasir yang begitu putih, aku bisa melihat lautan biru menghampar luas di hadapanku. Laut yang terlihat luas tak berujung dan langit yang membentang sampai jauh membuatku merasa dunia ini milikku. Membuatku merasa sendirian, sekalipun banyak orang berkumpul di tepi pantai. Dan aku merasa, akhirnya, bisa bernapas lega. Tanpa ada siapapun yang kukenal di sekitarku. Tanpa ada orang yang harus kutipu dengan senyum ramah atau basa-basi hangat.
Tempatku akhirnya bisa menangis, sendirian.
Kukira begitu, sampai seseorang muncul dan menghancurkan anganku begitu saja. Aku berbalik dan segera menyunggingkan senyum, senyum lebar yang sesungguhnya memintanya pergi.
Sungguh, aku sudah lelah.
“Tidak menginginkan buket bunganya?” tanyanya setelah membalas senyumku, jelas sekali ia tidak menyadari arti dibalik senyum yang kusunggingkan barusan.
“Tidak juga, kenapa harus?” jawabku tanpa sedikitpun menurunkan sudut lengkung bibirku, sekedar bersikap ramah. Meskipun sebenarnya aku tidak begitu mengenal lelaki yang mengajakku bicara ini.
“Well, it’s your best friend wedding’s party, isn’t it?” tanyanya dengan nada yang seperti berkata ‘seharusnya-tak-perlu-dipertanyakan-lagi’.
Lelaki bernama Verrell ini sungguh membuatku tertawa, “So, how about you Ve?” Aku tak tahan untuk bertanya, karena sang mempelai pria yang merupakan sahabatku  itu adalah sepupunya. Tanpa kuduga, matanya seketika lekat menatap kedua bola mataku. Tatapannya yang seolah bisa melihat langsung ke dalam hatiku itu membuatku jengah, membuatku langsung saja berpaling. Tanpa sempat berpikir bahwa tindakanku itu kurang sopan.
Sayangnya, apa yang berikutnya memasuki penglihatanku malah membuatku semakin jengah. Laki-laki di altar itu tengah menggandeng mesra wanita yang kini telah resmi menjadi istrinya. Keduanya berjalan saling bertatapan menuruni altar, bunga-bunga seakan bermekaran di sekeliling mereka. Sementara para pemain musik mengiringi mereka dengan musik khas pernikahan yang buatku terdengar seperti musik kesedihan.
“Apa kamu menyesal Lun?” Verrell tiba-tiba bertanya lagi, membuatku menoleh terperangah, sepertinya lelaki ini tak juga berniat untuk berhenti mengusikku. Aku baru saja akan menjawab tidak, ketika Verrell berkata tanpa melepaskan pandangannya dariku, “Kurasa kamu memang menyesal.”
“Tidak,” jawabku segera, menyangkal pernyataannya yang tak ingin kuakui, “Tentu saja tidak. Aku turut berbahagia dengan pernikahannya.” Aku berusaha keras memandang matanya, menjawabnya dengan senyuman lebar. Tapi, saat menemukan matanya aku tahu ia menyadari kebohongan yang kukatakan.
“Kenapa aku harus menyesal?” tanyaku, mempertahankan diri dari matanya yang seolah bisa membongkar semua kebohonganku.
Verrell terdiam, sepertinya bukan karena tidak bisa menjawab pertanyaanku tapi ia sengaja membuat jeda untuk menekankan perkataannya. Ia mengalihkan tatapannya dan memandang kedua mempelai itu, “Karena kamu mencintainya,” ia berkata tanpa keraguan, seperti membicarakan perasaannya sendiri.
Ia sepenuhnya benar dan aku tak mengerti bagaimana dia bisa tahu, tapi aku tak akan semudah itu mengakui perasaanku di depan seseorang yang tak begitu kukenal. Tidak seorang pun pernah tahu aku mencintainya, bahkan orang yang paling dekat denganku sekalipun.
“Of course not,” aku tertawa meski hatiku jelas masih menangis, “Why do you think like that?” Masih tertawa, aku memandangnya penuh selidik. Tapi ia tidak ikut tertawa, sesungging senyum pun tidak,  ia memandangku dengan raut wajah yang tak bisa kutebak apa artinya.
 Aku segera saja terdiam, tak berkutik di bawah tatapannya. Baru kali ini ada seseorang yang dengan mudahnya menebak apa yang kurasakan. Padahal kami hanya pernah bertemu beberapa kali, ketika aku membantu mempersiapkan pernikahan sahabatku ini. Aku tidak mengerti bagaimana ia bisa mengetahui semua tentang diriku padahal selama ini aku selalu berhasil menutup diriku dari orang-orang lain.
“Luna!” seruan itu tiba-tiba mengagetkanku, seketika aku menoleh pada pasangan yang semakin mendekati tempat kami berdiri. Aku langsung tersenyum lebar, sosoknya saat ini sungguh terlihat begitu memikat. Sungguh beruntung sekali istrinya, diam-diam aku berharap akulah yang ada di sampingnya. Impian yang tak mungkin jadi nyata.
Ketika keduanya benar-benar berada di hadapan kami, Chris berbisik di telingaku, “Thanks for make it happen Lun.” Perkataannya memilukan hatiku, namun aku hanya bisa tersenyum.
“You make it Chris, not me. Congratulation,” ujarku, lalu menatap wanita di sampingnya,  “Selamat, semoga kalian selalu berbahagia.”
Seketika Giselle memelukku, “Thank you so much Lun, kamu sudah membuat pernikahan impianku jadi nyata. Aku sangat-sangat berterima kasih.” Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana menanggapi ucapan terima kasih yang jelas-jelas penuh kebahagiaan itu, jadi aku hanya balas memeluknya, menjawabnya dengan sederhana.
 “Sama-sama.”
Aku bisa membuat pernikahan ini menjadi pernikahan yang sesuai dengan impiannya, karena seperti inilah aku memikirkan pernikahan impianku. Pernikahan yang tadinya kuimpikan jika aku nanti menikah. Aku membayangkan sebuah pernikahan di tepi pantai dengan desir ombak mengiringi pernikahanku dan cahaya matahari menerangi kami berdua, seolah memberkati pernikahan kami. Aku merasa ajaib ketika tahu bahwa The Bay Bali bisa saja membuat impianku jadi nyata.  
And it is, really. Seandainya akulah yang menikah hari ini. Aku jadi merasa begitu bodoh membuat pernikahan impianku menjadi nyata untuk orang yang aku cintai tapi bukan aku yang menjadi pasangannya.
Giselle melepaskan pelukannya padaku, lalu menatap Chris dengan air mata bahagia. Keduanya kembali bergandengan tangan, “Nikmati pestanya Lun,” seru Chris lalu menatap Verrell. Lelaki itu menepuk bahu Chris penuh persahabatan sebagi ucapan selamat, lalu keduanya beranjak pergi, menyapa tamu-tamu lain.
Mataku memandang sosok kedua pengantin yang semakin menjauh, tak juga beralih meski rasanya menyakitkan. “You really love him, aren’t you?” Verrell berkata lirih, “I know.”
Yes, I am, bisikku. Dan detik itu pertahananku runtuh, air mata seketika tertumpah dari mataku. Lagu Happy 2NE1 bermain begitu saja dalam benakku.
The sadness over you Bye Bye Bye
Since you need to be without me to be happy
Without you I’m not Happy but I hope you’re happy
I’ll watch over you from afar
Without you I’m not happy but I hope you’re happy
Live happily once forgetting me
I hope you’re happy
Live happily once forgetting me
I wish you’re happy
I though we had it together but well

  Aku menarik napas, berusaha mengusir sesak yang memenuhi rongga hatiku. Verrell sama sekali tidak beranjak dari sisiku, dengan lembutnya ia berkata. “Menangislah kalau ingin menangis Lun. Biarkan perasaanmu lepas.”
Aku menghembuskan napasku, “How do you know Ve?” tanyaku tak mengerti.
Verrell memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatapku tepat di bola mata. “Karena aku selalu memperhatikanmu,” ucapnya tegas.
Aku memandangnya tak mengerti.
“I love you Lun,” ungkapnya, “Sejak pertama kita bertemu.”


抜き猫

9.16.2013

CPD dan Shikat Miring!

Sebelum kita masuk ke inti cerita, rasanya perlu saya jelasin dikit tentang CPD dan "Shikat Miring!".
CPD merupakan singkatan dari Camping Pendidikan Dasar, yang merupakan bagian dari kegiatan orientasi siswa yang biasa disebut MOS (buat yang se-zaman sama saya), atau kalau disesuaikan dengan zaman sekarang bisa disebut MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) atau MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Nah, kegiatan CPD ini baru saja diselenggarakan minggu lalu di sekolah tempat saya bekerja, dimana acaranya diselenggarakan malam hari.
Lalu, apa itu "Shikat Miring!"? Buat yang baru denger mungkin dari namanya saja sudah terdengar aneh, belum lagi dengan penambahan huruf 'h' diantara 's' dan 'i'. Nah, kalo untuk soal yang satu ini kayanya Mas Danang sama Mas Darto lebih tau. Jadi silakan nonton (atau youtubing) aja The Comment di Net Tv. :D
Caution! : Ada baiknya kalian tau dulu apa itu Shikat Miring sebelum membaca tulisan di bawah ini. Supaya lebih 'ngena' gitu.

Ok. Jadi cerita ini dimulai minggu lalu, pada suatu sore yang cerah (kalo ngga mau disebut panas).
Sesuai dengan yang telah direncanakan, kami para panitia CPD (terdiri dari anggota OSIS dan guru muda *ehem) bersiap-siap untuk pergi ke lokasi. Saya yang tahun lalu jadi tim medis, sama sekali ngga nyangka sekarang diminta untuk jagain pos. Buat yang pernah ngalamin CPD atau Pelantikan Anggota pasti ada kan kegiatan malem-malem yang keliling dari satu pos ke satu pos lain buat ngelaksanain misi?
Nah, saya diminta sama salah satu anggota OSIS untuk jaga di Pos 1 bareng sama dua orang anggota OSIS, sebut saja A dan R (belum ada izin untuk mempublikasikan nama),  yang bikin saya agak kaget karena udah berasumsi cuma bakalan jadi tim medis aja.

Singkatnya, kami tiba di tempat perkemahan yang jaraknya tak begitu jauh dari sekolah.
Malam pun menjelang. Setelah makan malam, R, salah satu anggota OSIS yang sama-sama jagain pos 1 bareng saya ngajak diskusi soal pertanyaan yang nanti akan diberikan dan hukumannya kalau mereka ngga bisa jawab.
Pertanyaan selesai dibahas, dan untuk hukuman R menyarankan untuk jalan bebek sambil nyanyi Potong Bebek Angsa, yang menurut saya agak kurang 'wah'. Awalnya terbersit sebuah ide dalam kepala saya untuk memberikan hukuman 'Goyang Caesar' yang populer waktu Ramadhan kemarin. Tapi karena saya sendiri tidak tahu seperti apa bentuk goyang tersebut (karena hanya mendengar cerita dari sepupu saya yang selalu nonton acara itu pas sahur), jadinya ide itu saya cancel.
Mendadak, entah datang darimana dan bagaimana, "Shikat Miring!" tiba-tiba saja muncul dalam benak saya. Sebelum saya sempat memproses ataupun memikirkan kembali ide tersebut, mulut saya langsung saja melontarkan ide untuk memberikan hukuman berupa "Shikat Miring!" pada R, yang diluar dugaan, merespon ide itu dengan terlalu baik.
Dengan semangat 45 dia memanggil A yang kebetulan banget tau tentang "Shikat Miring!". Saat itu saya merasa telah salah bicara. Oh Noooo~

Karena sudah terlanjur basah, akhirnya saya malah ikut semangat ngebahas rencana tersebut. Kami bahkan merencanakan latihan singkat "Shikat Miring!" saat pengecekan lokasi pos. Sayangnya latihan tersebut terpaksa dibatalkan karena kami cek lokasi pos rame-rame sama penjaga pos lain. Jadinya kami hanya berlatih dialog "Shikat Miring!" di rumah kecil tempat para panitia berkumpul.

Finally, pertunjukan dimulai!
Sekitar jam 11 malam kami sudah berjaga di pos. Posnya berupa saung kecil di dekat sawah, di dalam hutan yang dikelilingi pohon. Ditemani sebatang lilin yang berpendar dan keripik kentang rasa balado, kami latihan "Shikat Miring!" kecil-kecilan yang membuat kami bertiga tak hentinya tertawa karena segala kekonyolan "Shikat Miring!" ini. Ide siapa sih ini?



Oke, saya yang ngasih ide.

Menit demi menit berlalu dan belum ada satupun kelompok peserta yang muncul (satu kelompok terdiri dari 6-9 orang). Sambil menunggu, saya merebahkan diri di saung, merasakan dinginnya udara di tengah alam yang pada akhirnya membuat saya tertidur.

1 jam kemudian, saya dibangunkan karena tanda-tanda kelompok peserta pertama sudah terlihat.
Saya berdiri dan bertanya-tanya dalam hati, Benarkah saya harus melakukan ini?. Meski merasa ini memalukan, tapi keinginan saya untuk membuat hukumannya 'menarik' akhirnya memantapkan keinginan saya untuk meneruskan misi ini.
The show must go on, guys~

Kelompok peserta pertama tiba di hadapan kami.
Akhirnya, setelah melontarkan beberapa pertanyaan dan dijawab dengan kurang memuaskan, hukuman "Shikat Miring!" pertama pun dijatuhkan. Herannya, tak ada satu orang pun yang tahu 'tarian' ini. Jadi, saya, R, dan A memperagakan gerakan-gerakan ini satu kali dan nantinya harus dicontoh oleh mereka. Berikut langkah-langkah melakukan "Shikat Miring!" versi kami :
Pertama, satukan kedua telapak tangan (seperti posisi memberi salam) dan letakkan di depan dada, lalu ucapkan "Pertama niatkan, kalau belum sanggup ya sanggupin!" sambil mengepalkan kedua tangan dan menariknya seperti mengatakan "Yes!"
Berikutnya ucapkan "Kalau udah sanggup langsung di sundul sayang~," (menggerakkan kepala seperti menyundul bola ke arah kanan). "Kecup manja...," (menggerakkan kepala ke kiri dan memajukan bibir seperti ingin mencium disertai suara kecupan, mmuah~).
Langsung ucapkan, "Iris tipiiiiis," (menggerakkan lengan kanan dibawah lengan kiri seperti mem-fillet ikan). "Potong maniiiiis," (menggerakkan tangan kanan diatas lengan kiri seperti memotong buncis).
Terakhir, rentangkan kedua lengan dan tekuk kaki kiri ke depan lalu ucapkan "Shikat Miring!"

Uhuk. Selesai menulis tutorial barusan saya masih merasa malu. Bangeeeet.
Tidaaak, apa yang saya lakukaaan? *gali lubang dan sembunyi.

Peserta berikutnya dan berikutnya dan berikutnya lagi datang, hukuman "Shikat Miring!" pun dijatuhkan bertubi-tubi, membuat saya menggali lubang imajinasi semakin dalam. Peserta terakhir akhirnya berlalu dan saya merasa seperti kepiting rebus.
Kembali ke rumah kecil kami, menertawakan kekonyolan yang baru saja kami lakukan sembari menunggu para peserta kembali. Topik "Shikat Miring!", entah bagaimana menjadi populer. Hingga membuat salah seorang guru yang belum tahu langsung mencarinya saat itu juga melalui youtube. Sampai para peserta membahasnya bahkan setelah kembali ke lokasi kemping. Dan bahkan masih tetap populer hingga saat tulisan ini saya buat, mungkin hingga esok, minggu depan, bulan depan, dan bisa jadi, tahun depan.

Beberapa anggota OSIS yang tahu tentang pertunjukan"Shikat Miring!" yang kami lakukan di pos 1 dan tidak tahu bagaimana 'wujudnya', bahkan sampai meminta saya untuk menunjukkan 'tarian' itu pada mereka. Saya katakan bahwa itu adalah pertunjukkan spesial kemping. No. More.

Saat ini saya masih heran dengan kenekatan saya sendiri dalam melakukan pertunjukkan itu. Saya yang beberapa waktu lalu malu berat hanya karena dihukum nyanyi lagu Potong Bebek Angsa dengan huruf vokal 'a' (jadi Patang Babak Angsa) di suatu acara, kok ya bisa-bisanya menunjukkan 'tarian' "Shikat Miring!", depan murid-murid pula. Hahaha. ;p
Sebelumnya, saya belum pernah sekalipun se-ekspresif ini. Apa ini efek training #Xpressive yang terlambat?

Walaupun saya jelas-jelas masih merasa malu dan ketawa konyol kalau ada yang mengangkat topik itu ataupun teringat pertunjukan itu, tapi saya berpikir, kalau semua itu membuat saya sadar bahwa saya pun bisa se-ekspresif itu. Bukankah itu bagus? Bukankah itu artinya sebuah kemajuan, sebuah perubahan kecil yang nantinya akan berdampak besar? Who knows.


- Saya yang masih bertanya-tanya kenapa menuliskan cerita ini dan mempermalukan diri sendiri -
抜き猫

6.11.2013

Pro Kontra S2

Dag. Dig. Dug.
Harap-harap cemas aku membuka file Hasil Pengumuman S2

Yup, sebulan yang lalu aku mengikuti ujian seleksi masuk S2 jurusan Pendidikan Bahasa Jepang di UPI. Pilihan yang menimbulkan pro kontra.
Kenapa pro kontra?

Aku yang lulusan Pendidikan Ilmu Komputer jelas-jelas ngga nyambung sama Pendidikan Bahasa Jepang. Tapi ngambil kuliah Bahasa Jepang sudah jadi cita-citaku sejak masa SMP, lebih tepatnya akhir SMP.

Di luar dugaan, waktu aku mengutarakan keinginanku untuk mengikuti ujian masuk Bahasa Jepang ibuku setuju. Menurutnya lebih baik aku mengambil jurusan Bahasa Jepang (di UPI) ketimbang kuliah di luar kota (aku pernah berniat kuliah di Jogja) atau di Jepang (one of my dreams too).
Setelah melakukan penyelidikan melalui website Pascasarjana UPI dan interogasi bagian pendaftaran, dengan tekad aku mengisi pendaftaran.
Untuk menyerahkan formulir pendaftaran dibutuhkan rekomendasi dari dua orang dosen.
Saat meminta rekomendasi inilah timbul kontra.
Tentu jadi pertanyaan kenapa aku memilih Bahasa Jepang dan tidak melanjutkan ke jurusan yang berbau komputer atau mungkin pendidikan.
Bagaimanapun dulu aku diterima di Pendidikan Ilmu Komputer bisa dibilang 'nyasar'. (read this)
Waktu dipikir sekarang rasanya dulu agak menyesal juga tidak mencoba lagi SPMB ke jurusan Bahasa Jepang. *lupakan*
Karena alasan itulah, aku berpikir untuk tidak melanjutkan ke jurusan yang berbau komputer. Kayanya ngga dulu deeh.. Aku berpikir aku ngga mau menyesal lagi.
Kali ini aku akan mencoba masuk ke Bahasa Jepang. Sengaja mengisi hanya satu pilihan saja.
Meski ayahku menyarankan untuk mengisi pilihan kedua.
Aku bertahan pada pilihanku. Jawabannya, tidak.

Buatku keterima atau tidaknya aku di Bahasa Jepang kali ini menentukan banyak hal.
Karenanya aku berharap besar untuk keterima.
Jika keterima aku lebih memiliki rencana jelas untuk hidupku.
Jika tidak aku harus berpikir ulang mengenai rencana-rencana untuk hidupku.

Dag. Dig. Dug.
Aku mulai mencari deretan namaku di antara daftar pengumuman mahasiswa yang lolos seleksi.
Satu per satu baris nama kubaca. Sangat hati-hati.
Seakan namaku tak akan terbaca jika terlewat sekedip saja.
Semakin mendekati baris akhir aku semakin cemas.

Dan begitu baris terakhir terlewati, aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak diterima.

Tidak diterima.
Sesaat aku merasa bimbang.
Apa yang harus kulakukan setelah ini?

Kali ini pro kontra itu ada di dalam diriku sendiri.

Mungkin bukannya tidak tapi belum.

Belum diterima.
Aku akan mencoba lagi.
Bukankah terlalu cepat untuk menyerah?

Entah apa penyebab aku belum diterima kali ini. Manusia selalu punya rencana, berusaha untuk meraih keinginannya. Namun pada akhirnya Allah lah yang menentukan.
Rencana Allah selalu indah. Meski kini aku belum tahu apa yang direncanakanNya untukku.

Syukuri dan hadapi.
Life goes on. :)

抜き猫

About Me

My photo
cat lover, japan addict, spy girl, paparazzi, the nocturnal, plegmatis, book eater, newbie teacher, single happy, travel writer wannabe;